Sabtu, 29 Maret 2014

Adverse Drug Reaction: Kejadian Defisiensi Vitamin B-12 Akibat Penggunaan Metformin Jangka Panjang pada Terapi Diabetes Tipe 2

A.  Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kejadian defisiensi vitamin B-12 akibat penggunaan Metformin dalam jangka panjang pada penderita Diabetes Melitus tipe II.

B.     Pendahuluan
Metformin adalah obat  golongan biguanida yang direkomendasikan paling utama sebagai pemakaian terapi diabetes tipe II, karena memiliki efek samping yang kecil. Metformin merupakan obat antihiperglikemi yang berkaitan dengan morbilitas dan mortalitas dari penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien diabetes tipe II. Metformin bekerja dengan memperbaiki resistensi insulin dengan menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan pengambilan glukosa perifer melalui stimulasi AMC-activated kinase.
Mekanisme kerja biguanida, yaitu:
1.      Menghambat absorbsi karbohidrat
2.      Menghambat glukoneogesis (pembentukan glukosa selain dari karbohidrat) di hati
3.      Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
4.      Meningkatkan jumlah reseptor insulin
5.      Memperbaiki defek respon insulin
Namun, jika digunakan jangka panjang metformin juga memiliki beberapa kelemahan atau menimbulkan efek yang tidak dikehendaki. Salah satunya adalah dapat menginduksi kegagalan absorbsi vitamin B-12 yang dapat menyebabkan risiko defisiensi vitamin B-12. Selain itu, metformin juga dilaporkan dapat menurunkan kadar folat dan meningkatkan kadar homosistein yang dapat menimbulkan faktor risiko penyakit kardiovaskular.

C.     Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan selama 4.3 tahun dengan diberikan pengobatan insulin pada semua partisipan yang menderita diabetes tipe II. Kemudian dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase 1-12 minggu pertama yang disebut pre-randomisasi, partisipan hanya menerima pengobatan insulin saja; fase kedua yaitu 16 minggu selanjutnya disebut short term treatment phase, dan fase ketiga yaitu 4 tahun selanjutnya disebut long term treatment phase. Pada fase kedua dan ketiga diberikan tablet metformin atau placebo secara acak atau randomisasi, 3 kali sehari satu tablet (850 mg/tablet).
Serum setiap partisipan diperiksa setelah 4, 17, 30, 43, dan 52 bulan untuk mengetahui kadar vitamin B, folat, dan homosistein. Pemeriksaan kadar vitamin B12 dan folat menggunakan Electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA) dan untuk pemeriksaan total kadar homosistein dengan menggunakan kit dari Chromsystems (Martinsried, Germany).

D.    Hasil Penelitian
Penelitian tentang efek jangka panjang dari pengobatan metformin pada konsentrasi kadar serum vitamin B-12, folat, dan homosistein pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang diobati dengan insulin memiliki tiga temuan utama, yaitu :
1.      Metformin secara signifikan mengurangi konsentrasi vitamin B-12, sesuai dengan penelitian sebelumnya.  Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan ini bukan fenomena sementara, tapi tetap dan tumbuh dari waktu ke waktu.
2.      Penurunan kecil yang signifikan dalam konsentrasi folat ditemukan pada kelompok metformin dibandingkan dengan kelompok placebo. Namun, Penurunan ini secara statistik tidak signifikan setelah penyesuaian dengan indeks massa tubuh dan status merokok.
3.      Penurunan konsentrasi vitamin B-12 dikaitkan dengan peningkatan kadar homosistein, yang tidak signifikan secara statistik. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa konsentrasi homosistein memang meningkat pada individu  di antaranya, penurunan kadar vitamin-12 B di bawah konsentrasi umumnya yang dianggap menunjukkan defisiensi klinis yaitu, 150 pmol/l .

Hasil dari penelitian menunjukkan persentase vitamin B12 setelah menerima placebo, yaitu:
a.       Kadar  vitamin B-12 meningkat sebesar 0.2 pmol/l (perubahan 0%, tingkat  kepercayaan 95% dengan interval −3% hingga -4%)
b.      Peningkatan kadar folat sebesar 1.01 nmol/l (perubahan 8%, tingkat kepercayaan 95% dengan interval 4% hingga12%)
c.       Peningkatan homosistein sebesar 1.60 μmol/l (perubahan20%, tingkat kepercayaan 95% dengan interval 6% hingga 25%).

Hasil dari penelitian menunjukkan persentase vitamin B12 selama pengobatan dengan metformin, yaitu:
a.       Penurunan kadar vitamin B12 sebesar 89.8 pmol/l (perubahan −19%, tingkat kepercayaan 95% dengan interval −22% hingga −15%)
b.      Peningkatan kadar folat sebesar 0.21 nmol/l (perubahan 3%, tingkat kepercayaan 95% dengan interval −1% hingga 6%)
c.       Peningkatan kadar homosistein sebesar 3.26 μmol/l (perubahan 26%, tingkat kepercayaan 95% dengan interval 21% hingga31%).

Dibandingkan dengan Placebo, pengobatan dengan metformin menunjukkan hasil:
a.       Penurunan kadar vitamin B-12 sebesar 19%
b.      Penurunan kadar folat sebesar 5%
c.       Peningkatan kadar homosistein sebesar 5%

E.     Kesimpulan
a.       Persentase Kejadian Adverse Drug Reaction
Metformin dilaporkan secara farmakologi menyebabkan defisiensi vitamin B-12. Diperkirakan bahwa 10% sampai 30% dari pasien yang menjalani terapi metformin menunjukkan bukti defisiensi vitamin B12.
Pada penelitian ini persentase kejadian Adverse Drug Reaction defisiensi vitamin B-12 yaitu 19% dari 196 orang.

b.      Faktor resiko kejadian Adverse Drug Reaction
Berdasarkan data demografis pasien :
1.      Umur
Pada orang usia tua (geriatri) cenderung lebih dominan mengalami ADR defisiensi vitamin B-12 karena terjadi penurunan fungsional tubuh sehingga ketersediaan kalsium dalam tubuh juga berkurang dibandingkan dengan orang yang lebih muda.

2.      Riwayat merokok
Vitamin B-12 dimetabolisme mirip dengan sianida pada asap rokok. Orang yang merokok mengalami peningkatan kadar darah karena adanya sianida. Hal ini menyebabkan tubuh bekerja keras untuk mengeluarkan sianida. Akibatnya semakin tinggi kadar sianida dalam tubuh maka semakin tinggi juga vitamin B-12 yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi vitamin B-12.

3.      Konsumsi alkohol
Jika mengkonsumsi alcohol dalam jumlah yang berlebihan dan dalam waktu lama, maka dapat menyebabkan penurunan kemampuan penyerapan vitamin B-12 dari saluran pencernaan.

Berdasarkan parameter pengobatan : Durasi terapi metformin
Penggunaan metformin untuk terapi dalam jangka panjang menyebabkan
peningkatan defisiensi vitamin B-12. Hal ini dikarenakan mekanisme kerja
metformin yang menyebabkan terjadinya kegagalan absorbs vitamin B-12.



Berdasarkan parameter hematologi :
1.      Kadar haemogoblin
Semakin rendah kadar hemoglobin dalam tubuh maka menunjukkan bahwa kadar vitamin B-12 dan asam folat rendah.
2.      Serum vitamin B12
Jika serum vitamin B-12 rendah maka menunjukkan adanya defisiensi vitamin B-12.
3.      Kadar folat
Jika terjadi defisiensi vitamin B-12 maka secara bersamaan akan menurunkan kadar folat dan meningkatkan kadar homosistein yang menyebabkan risiko penyakit kardiovaskuler.

c.       Mekanisme Terjadinya Adverse Drug Reaction
Supaya dapat diserap, vitamin B-12 harus berikatan dengan faktor intrinsik (suatu protein yang berada di usus) yang kemudian mengangkut vitamin ini ke ileum, menembus pencernaan atau usus dan masuk ke dalam aliran darah. Factor intrisik ini di sintesis di sel gastric pariental dan disekresikan oleh gastric juice.Tanpa faktor intrinsik, vitamin B-12 akan tetap berada dalam usus dan dibuang melalui tinja. Obat-obat golongan biguanida berinteraksi dengan kompleks faktor intrinsik/vitamin B-12 dan cubilin, yang merupakan reseptor endocytic yang terlibat dalam proses penyerapan vitamin B-12. Proses penyerapan kompleks faktor intrinsik-vitamin B12 oleh sel-sel pada terminal ileum sangat tergantung kalsium. Metformin mengganggu ketersediaan kalsium sehingga terjadi kegagalan absorbsi vitamin B-12 dan menyebabkan defisiensi insulin.

F.      Adverse Drug Reaction Akibat terjadinya defisiensi vitamin B-12
1.      Anemia megaloblastik
Selain zat besi, sumsum tulang memerlukan vitamin B-12 dan asam folat untuk menghasilkan sel darah merah. Jika kekurangan salah satunya maka bisa menyebabkan anemia megaloblastik yang ditandai dengan pembesaran sel darah merah dan perubahan khas neutrofil.
Mekanisme terjadinya anemia : Vitamin B-12 berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan energy dari protein dan lemak melalui pembentukan suksinil Ko-A dan suksinil Ko-A inilah yang berperan dalam pembentukan hemoglobin. Jadi jika terjadi defisiensi pada vitamin B-12 maka akan terjadi gangguan pembentukan suksinil-Koa yang sekaligus juga mengganggu sintesis hemoglobin.
2.      Neuropati
Dalam system saraf, kekuarangan vitamin B-12 menyebabkan pengurangan kemampuan untuk membentuk myelin (yang berperan dalam pembentukan sel saraf) yang diikuti oleh degenerasi aksonal dan kematian saraf, tidak hanya di saraf perifer tetapi juga dalam posterior dan lateral kolom dari sumsum tulang belakang dan otak besar. Manifestasi klinis: mati rasa, pharatesia (sensasi kulit abnormal seperti terbakar yang terjadi tanpa stimulus dari luar) pada kaki, ataksia, perubahan status mental, dan demensia (pikun).

G.    Pencegahan/ Penanganan Adverse Drug Reaction
1.      Pemantauan (monitoring)  rutin kadar vitamin B12 selama penggunaan metformin dalam jangka panjang.
2.      Memantau status gizi pasien yang dirawat dengan metformin.
3.      Meresepkan injeksi vitamin B12 jika perlu.


Apalah......


Ng, iyah ini tentang mereka. Aah, tidak tidak. Hmm, baiklaah. Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan hal ini. Tapi entah ketika aku dilanda kegalauan, selalu terlintas masa itu. Mungkin bagi mereka biasa saja. Tapi bagiku ini sulit untuk dipahami. Kuakui aku ingin kembali merasakan saat itu, saat kita selalu bertiga menghabiskan waktu bersama. Yah, aku sadar, kita memiliki jalan kehidupan yang berbeda-beda. Kita memiliki kesibukan yang berbeda dan masalah yang berbeda. Tapi, salahkah aku meminta untuk kita bisa menciptakan suasana itu kembali? Bisa dibilang itu sedikit mustahil. Yah, aku tahu aku sadar itu sulit bagi kita.

Mungkin itu salahku, karena aku tidak bisa mempertahankannya. Aku kalah dengan orang-orang keempat, kelima, keenam, dan seterusnya yang menjadi pengganti kita masing-masing. Tapi, bisakah kita masih saling menyapa? Saling menanyakan kabar? Dan berkumpul sekali saja? Aku tahu mata itu melihatku saat kita tidak sengaja berpapasan, tapi bisakah buang pandangan itu tidak terjadi? Aku sedih, seolah-olah kita tidak pernah saling mengenal.
at Taman Sangkareang, Mataram

Mungkin benar “Sahabat itu ada saat kita TERJATUH dan TERPURUK”. Jujur aku sebenarnya sangat mengharapkan kedatangan kalian saat aku sakit, tapi itu tidak terjadi. Mungkin kalian sibuk, hingga tidak sempat menjengukku. Aku yakin ada banyak alasan yang membuat kalian terpaksa tidak menjengukku. Oke, lupakan hal itu. Maaf, atas semuanya. Ini hanya tulisan tidak penting yang aku tulis untuk menumpahkan perasaanku. Maaf, jika kalian tidak berkenan. Satu hal yang aku ingin kalian tahu, aku akan selalu sayang kalian dan mengharapkan yang terbaik untuk kalian. Aku yakin aku kuat tanpa kalian, karena aku punya sahabat-sahabat yang lain. Tapi, bisakah aku masih memanggil kalian sahabat?

Selasa, 24 Desember 2013

Keefektifan Asam Zoledronat untuk Menurunkan Kerapuhan Tulang pada Wanita Osteoporosis Pasca Menopause


I.           PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah suatu penyakit gangguan skeletal sistemik yang ditandai adanya pengurangan atau penghilangan jaringan tulang, gangguan susunan atau bentuk tulang, dan kerapuhan tulang, sehingga tulang menjadi mudah patah (Murray, 2010).
Dilaporkan bahwa penderita osteoporosis pada tulang pinggul memiliki angka kesakitan dan kematian tertinggi. Hingga 50% penderita tersebut mengalami kesakitan permanen, dan 25% menjadi tidak dapat hidup mandiri kembali (Murray, 2010).
Menurut International Osteoporosis Foundation (IOF) terdapat 200 juta orang di dunia mengalami osteoporosis. Dilaporkan tahun 2000, 9 juta orang osteoporosis patah tulang, 1,6 juta orang patah tulang panggul, 1,7 juta orang patah tulang lengan bawah, dan 1,4 juta orang patah tulang belakang. Sekitar 40% - 50% wanita dan 13% - 30% pria mengalami tulang rapuh selama hidupnya. Diperkirakan tahun 2050, akan terjadi peningkatan kejadian tulang patah atau keropos pada wanita 240% dan pada pria 310%. Wanita yang telah menopause berkontribusi nyata dalam peningkatan jumlah penderita osteoporosis di dunia (IOF, 2013). Sebuah meta analisis menunjukkan wanita dan pria tua (geriatric) memiliki kecepatan kematian 5 sampai 8 kali lebih cepat setelah mengalami kerapuhan tulang pinggul dibandingkan penyakit lain (Murray, 2010).
Obat golongan bifosfonat adalah salah satu obat yang baik untuk mengobati penyakit osteoporosis. Bifosfonat bekerja sebagai inhibitor resorpsi osteoklas. Resorpsi atau penguraian tulang diakibatkan oleh adanya aktivitas dari osteoklas yang ada pada permukaan tulang (Murray, 2010). Osteoklas adalah sel fagosit besar multinukleus yang berasal dari monosit (sel darah putih). Sel ini jumlahnya hanya sebagian kecil dan keberadaannya diimbangi dengan adanya aktivitas osteoblas yaitu sel yang akan memperbaiki dan menggantikan bagian tulang yang diurai oleh osteoklas (William, 2008).
Osteoporosis diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara osteoklas dan osteoblas, dimana terjadi kelebihan osteoklas atau terjadi proses resorpsi yang berlebihan dibanding proses formasi oleh osteoblas (Murray, 2010).
Alendronat, risedronat, pamidronat, asam zoledronat, dan ibandronat adalah golongan bifosfonat yang biasa disebut aminobifosfat atau Nitrogen-containing bisphosphonate yang berpotensi tinggi karena memiliki nitrogen pada rantai samping strukturnya (Sook,2006). Namun, dari penelitian sebelumnya menunjukkan asam zoledronat adalah bifosfonat yang paling poten terhadap pengobatan osteoporosis pada wanita pasca menopause. Obat ini diberikan lewat intravena dengan dosis 5 mg, sekali setahun (Kenneth, 2007).

II.          ISI
Normalnya, setiap orang memiliki jumlah osteoklas dan osteoblas yang seimbang, sehingga tidak ada pengurangan sel tulang. Fenomena ini bertujuan untuk menggantikan tulang yang sudah lemah dengan sel tulang yang baru dan lebih kuat (William, 2008).
Aktivitas sel osteoklas distimulus oleh hormon paratiroid yang disekresikan oleh kelenjar paratiroid tepat di belakang kelenjar tiroid akibat adanya pengurangan kadar kalsium serum. Sehingga kalsium dapat dibebaskan ke darah. Namun, sebagai feed back negative, aktivitas osteoklas juga diimbangi oleh hormon kalsitonin yang menstimulus kerja osteoblas dan diekskresikan oleh kelenjar tiroid. Aktivitas osteoblas dipengaruhi oleh hormone esterogen, testosterone, dan hormone pertumbuhan (William, 2008). Wanita menopause mengalami defisiensi esterogen yang mengakibatkan peningkatan sel imun untuk memproduksi sitokin yang akan lebih mengaktifkan osteoklas.

Gambar 1: Struktur bifosfonat dan analog pirofosfat (Murray,2010)
Bifosfonat adalah analog dari anorganik pirofosfat dengan absorpsi yang rendah di saluran cerna, dan diekskresikan melalui ginjal tanpa perubahan struktur dari proses metabolic (Sook, 2006). R1 merupakan rantai yang akan berikatan dengan tulang, sedangkan R2 yang dapat dimodifikasi sebagai mekanisme aksi dari obat ini (Bock, 2008). Bifosfonat atau nonaminobifosfat memetabolisme osteoklas menjadi bentuk yang tidak aktif dengan secara langsung merusak sel tersebut dan menginduksi terjadinya apoptosis. Aminobifosfonat bekerja dengan 2 cara, yaitu dengan meningkatkan terjadinya apoptosis sel dan menghambat keja enzyme farnesil pirofosfat sintase (FPPS), yang diperlukan dalam pembentukan farnesal pirofosfat pada jalur mevalonat. Sehingga menghambat pembentukan protein prenilasi dari GTPase (Ras, Rho, dan Rac) yang berfungsi untuk meregulasi fungsi dan morfologi dari osteoklas.     
  
Gambar 2: Mekanisme aksi bifosfonat dan aminobifosfonat (Matthew, 2008)
Zoledronat adalah golongan aminobifosfonat yang paling poten dalam menghambat FPP sintase dan memiliki afinitas yang tinggi dalam mengikat mineral tulang. Selain itu, penggunaannya dilakukan lewat intravena sekali dalam pertahun, sehingga hal ini sangat menguntungkan bagi pasien yang tidak patuh dalam penggunaan obat (patients compliance), jika diberikan obat bifosfonat oral yang harus dikonsumsi seminggu sekali maupun sebulan sekali (Bock, 2008). 
Sebuah penelitian yang menunjukkan keefektifan Asam Zoledronat secara random dan double blind dengan 7765 wanita menopause berusia 65 sampai 89 tahun, tidak mengalami patah tulang belakang, dan memiliki densitas tulang (BMD 2,5). Semua partisipan yang memenuhi criteria inklusi, diberikan terapi asam zoledronat (5 mg) atau placebo secara intravena 15 menit selama 3 tahun. Asam zoledronat atau placebo diberikan pada hari ke-0, bulan ke-12, dan bulan ke-24 dengan diberikan suplemen kalsium (1000-1500 mg) dan Vitamin D (400-1200 IU) setiap harinya. Kemudian perkembangan semua partisipan dimonitor pada bulan ke 6, 12, 24, dan 36 (Dennis, 2007).

Hasil penelitian:
Terhitung 3.889 partisipan menerima asam zoledronat dan 3.876 lainnya menerima placebo.
1.   2,5% (88 wanita) dari asam zoledronat kelompok dan 1,4% (52 wanita) dari kelompok placebo mengalami patah tulang pinggul (RR: 0,59; 95%, Cl: 0,42-0,83)
2.   Kelompok asam  zoledronat, mengalami penurunan kejadian patah tulang belakang maupun nonvertebral sebesar 25%, 33%, 77% (P<0,001).
3.   Terjadi peningkatan densitas tulang pada kelompok asam zoledronat secara signifikan pada pangkal paha (total: 6,02%; 95%, Cl:5,77-6,28), pada tulang belakang (6,71%; 95%, Cl:5,69-7,74), dan pada tulang paha (5,06%; 95%. Cl: 4,76-5,36) disbanding kelompok placebo (P<0,001) (Dennis, 2007).

Faktor risiko terjadinya osteoporosis:
1.   Usia. Bone Mineral Density (BMD) menurun seiring pertambahan usia. Dari pengamatan The United States National Health and Nutrition (NHANES), wanita yang telah mengalami menopause menunjukkan prevalensi yang tertinggi mengalami osteoporosis.
2.   Jenis Kelamin. Wanita paling beresiko mengalami osteoporosis karena memiliki tulang yang lebih kecil dan massa tulang yang lebih rendah dibanding pria.
3.   Perbedaan Suku (ethnicity). Pada wanita yang berkuit putih 2,5 kali lipat lebih beresiko mengalami osteoporosis.
4.   Keturunan Penyakit Osteoporosis. Seseorang yang memiliki keturunan penyakit osteoporosis biasanya berpeluang besar untuk mengalami osteoporosis atau lebih sensitive untuk mengalami penyakit ini.
5.   Penurunan Berat Badan. Penurunan berat badan mengindikasikan terjadinya penurunan densitas tulang.
6.   Kebiasaan Merokok. Orang yang merokok mengalami penurunan BMD 2% lebih rendah dari wanita menopause dan orang yang tidak merokok.
7.   Mengkonsumsi Alkohol. Orang yang mengkonsumsi alkohol memiliki BMD yang rendah.
8.   Berolahraga. Orang yang rutin berolahraga memiliki densitas tulang yang lebih tinggi. Olahraga fisik juga ditunjukkan pada wanita menopause yang memiliki massa tulang yang lebih tinggi.
9.   Diet. Diet tinggi kalsium dapat meningkatkan penyerapan kalsium. Selain itu memakan makanan kaya vitamin D, sangat penting untuk membantu penyerapan kalsium tulang.

III.          KESIMPULAN
1.   Osteoporosis dikarenakan ketidakseimbangan jumlah sel osteoklas dan osteoblas, dimana jumlah sel osteoklas lebih banyak dibanding jumlah osteoblas.
2.   Osteoklas adalah sel yang berperan pada proses resorpsi atau proses penguraian tulang. Sedangkan osteoblas adalah sel yang berperan dalam proses formasi atau memperbaiki tulang yang telah diurai oleh osteoklas.
3.   Osteoporosis banyak terjadi pada wanita pasca menopause karena terjadi defisiensi esterogen yang berfungsi dalam menekan proses resorpsi.
4.   Bifosfonat adalah obat yang efektif dalam mengobati osteoporosis dengan cara menghambat pengikatan antara osteoklas dengan mineral tulang dan mempercepat terjadi apoptosis pada sel osteoklas.
5. Obat golongan aminobifosfonat dapat mencegah terjadinya osteoporosis dengan cara menghambat enzim Farnesil pirofosfat sintase pada jalur mevalonat.
6.   Zoledronat adalah bifosfonat yang paling efektif dalam mengobati osteoporosis pada wanita pasca menopause karena memiliki afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan mineral tulang sehingga dapat menghambat kerja osteoklas.
7.   Zoledronat dapat menurunkan kejadian kerapuhan tulang, patah tulang vertebra maupun nonvertebra.
8.   Zoledronat menguntungan pada pasien yang tidak patuh obat (patient compliance) karena terapi dengan obat ini hanya dilakukan sekali pertahun dengan dosis 5 mg secara intravena.